Cerpen - #6 Gugur
Sengatan
matahari perlahan mulai terik. Lapangan sekolah penuh dengan beragam aktivitas.
Daun pohon mangga di sudut lapangan menari-nari tertiup angin musim hujan. Hari
ini adalah hari Sabtu. Hari dimana semua kegiatan ekstrakulikuler dilakukan.
Semua
siswa di lapangan kelihatan sibuk dengan aktivitasnya. Tidak terkecuali aku. Aku
sibuk mencuri pandang dari balik bahu teman barisan depan. Aku berbaris di bagian
belakang, terkadang sesekali menggeserkan kepala ke samping untuk bisa
melihatnya. Salah satu anugerah terindah yang Tuhan hadirkan ke bumi. Apalagi kalau
bukan senyum manis di wajahnya. Aku merasa terserang diabetes mellitus tiap kali berpapasan pandang dengannya. Walaupun kini
terasa sedikit berbeda.
Apel
latihan pagi dimulai. Pertanda pertemuan hari ini resmi dibuka. Paralel dengan
pikiranku yang mulai terbang ke masa-masa itu.
Aroma
khas sekretariat memenuhi ruangan persegi panjang itu. Semua anggota baru
berkumpul. Hari ini adalah jadwal kumpul perdana bagi anggota baru. Aku termasuk
di dalamnya. Wajar karena sejak SD aku selalu bersemangat untuk aktif berkegiatan
ini. Tanda sobekan di jari tengah menjadi saksi bahwa aku piawai mendirikan tenda.
Satu
persatu anggota baru mulai memperkenalkan diri. Dan satu lagi kejutan indah
dalam hidupku. Diantara anggota baru itu, terduduk seorang gadis putih berwajah
ayu yang bersiap mengenalkan dirinya. Ah, dia belum memulai satu katapun aku
sudah senyum-senyum sendiri. Tidak salah lagi. Itu adalah dia.
Sejak
pertemuan itu, aku bertekad untuk bisa menjadi yang terbaik di ekskul ini. Selalu bersemangat
ketika ada kumpul. Selalu berinisiatif, mengambil peran, dan beragam tingkah
caper lainnya. Walaupun minim respon, setidaknya tingkah caperku pada saat itu
ada manfaatnya juga.
“Sekali
mendayung, dua tiga pulau terlewati”. Aku
tidak pernah menyesal masuk sekolah ini. Sebelumnya aku sangat besyukur saat
tahu kami sekelas, dan sekarang kami berada di ekskul yang sama. Apakah ini
pertanda? Ah, memang kalau jodoh tidak kemana. Seruku dalam hati.
Kembali
ke suasana apel pagi. Semua itu hanya kisah lama. Kisah barunya sangat
berbeda. Semua berubah saat negara api menyerang. Saat dia memutuskan menerima
orang lain. Saat dia memilih yang lain, tanpa tahu bahwa orang di dekatnya amat memendam
rasa.
Itulah
kenapa aku menjadi seorang pecandu masa lalu. Masa-masa dimana hanya ada
perasaan suka tanpa duka. Hanya ada harapan tanpa kecewa. Hanya ada tumbuh
tanpa potek. Hanya ada kau dan aku,
tanpa orang ketiga.
Apel
pagi selesai. Lamunanku siang itu juga harus selesai. Melanjutkan agenda berikutnya, latihan baris berbaris. Pasukan dibubarkan, satuan puteri meninggalkan lapangan lebih
dahulu. Persis seperti dia yang meninggalkanku tanpa aba-aba.
***
Kamu
tahu alasan kenapa pohon berguguran saat musim gugur? Itu karena kamu meninggalkannya.
...
Komentar
Posting Komentar