ENERGI MENGABDI 2019 - Cioray, Kampung Paling Terisolir di Bogor?
Energi
Mengabdi merupakan kegiatan pengabdian yang dilakukan oleh kami mahasiswa program
studi Teknik Konversi Energi dan Power Plant Politeknik Negeri Jakarta. Dilatar
belakangi dari bentuk keresahan kami terhadap kehadiran daerah-daerah tertinggal
di sekitar dan juga sebagai wujud pengamalan tridarma mahasiswa yaitu pengabdian.
Kami hadir di kampung Cioray membawa misi kebaikan yaitu pengajaran,
pembangunan, penyuluhan pertanian dan penyaluran donasi.
Karena
konsentrasi gua pada tulisan ini merujuk pada kondisi kampungnya, maka jangan
kecewa kalo cerita kegiatan pengabdiannya Cuma sedikit, lebih banyak porsi
penjelasan Cioraynya. Semoga tidak mengurangi niat baik kita yaa, Barakallah.
- 1. Letak Geografis
Wahai warga Bogor. Apakah kalian pernah mendengar
sebuah kampung namanya Cioray? Gua yakin sebagian besar akan jawab belum
pernah. Gua sendiri pun yang pernah sekolah di daerah Citeureup Bogor, masih
asing sama alamat itu.
Ci yang dalam bahasa sunda berarti air/sungai, oray
berarti ular. Jika digabung menjadi sungai yang berular atau ular air hehehe
*cocok logi. Terlepas dari keunikan namanya, ternyata kampung ini juga memiliki
realita yang unik.
Berjarak 19,5 Km dari pusat pemerintahan Kabupaten
Bogor, tidak menjadikan kampung ini bernasib baik. Akses masuk ke kampung
menjadi faktor utama alasan kenapa gua nulis judul di atas. Padahal waktu
tempuh dari Kantor Bupati ke kampung ini hanya memakan 47 menit berkendara roda
empat. Tapi ternyata, dekatnya jarak tidak selalu menjamin sesuatu menjadi
baik, seperti aku dan kamu :D *candaa
Ironis ya, baiklah mari kita kupas lebih dalam tentang
kisah dari kampung ular air ini.
2. Kondisi Infrastruktur dan Jalan
Kalo bahas soal ini, gua ingetnya sama Pakde aja.
Soalnya akhir-akhir ini kan Pakde yang paling semangat tuh buat percepatan
pembangunan jalan dan infastruktur di berbagai pelosok negeri. Pengen deh gua
ngajak Pakde jogging ke pelosok Bogor, salah satunya kampung Cioray. Rasanya
pengen bisikin di telinganya “Bogor bukan cuma istana sama Kebun raya aja
boss”.
Btw ini gua ga lagi becanda ya. Lu harus rasain gimana
payahnya perjalanan menuju ke sana. Di awal perjalanan aksesnya masih sangat
baik, jelas dong jalan raya pasar Citeureup. Setelah lebih masuk, lu bakal nemu
jalur yang muat satu mobil dan gua rasa itu baru dicor belum ada 5 tahun. Lebih
masuk lagi, sampailah di pos 2. Itulah batas akhir dari jalan bercor beton.
Selebihnya, trek semakin menantang karena permukaan jalannya sangat berkontur
yang disusun dari batu-batu kali. Walah pokonya payah banget. Mungkin itu lebih
cocok dijadiin jalur offroad/motocross dibanding jadi akses keluar masuk warga.
Warga mengeluh? YA PASTI! Bayangin aja tiap hari orang
yang mau beraktivitas keluar masuk kampung harus rela berjihad mempertaruhkan
nyawa melewati jalur berbatu itu. Gua sempet ngobrol sama Warlok (warga lokal)
dan katanya sedih banget a. Sebenernya kampung kami letaknya ga pelosok-pelosok
amat. Diapit dua kecamatan besar, Citeureup dan Gunung putri, bahkan masih
masuk kawasan industrinya Indocement. Tapi kok infrastruktur dan akses masuknya
masih tertinggal kaya gini.
Warlok melanjutkan curhatannya. Warga yang ingin
bepergian keluar kampung harus rela berjalan kaki sekitar 3 Km untuk sampai di
jalan raya, baru bisa naik angkot. Kalo ingin berhemat waktu, warga bisa naik
ojek yang tarifnya sangat mahal. Terhitung warga yang naik ojek dari pasar
Citeureup (pusat peradaban terdekat) ke kampungnya harus merogoh kocek 80
ribuan, itu pun hanya sampai batas akhir jalan coran. Selebihnya dilanjutkan
dengan moda transportasi kaki. Alias berjalan. Ada juga warga yang memilih
motor sebagai transportasinya, tapi ya gitu, mereka harus rajin-rajin ganti
oli, kampas rem, stel rante dan perawatan lainnya karena penggunannya tidak
wajar efek jalan yang berbatu.
Pertanyaan gua adalah, logic gak sih di daerah yang
dekat dengan ibu kota, ternyata masih ada daerah tertinggal seperti Cioray ini?
Kalau pun logic, bagaimana yang jauh dari ibu kota? Haduh negrikuu..
3. Kondisi Sosial Masyarakat
Sektor selanjutnya yang ingin gua bahas adalah dari
sisi sosial masyarakat. Secara umum Warlok merupakan petani di ladang. Sebagian
ada yang jadi guru, tukang kayu, peternak kambing dan sapi dan ada juga yang
buka usaha warung sembako plus jajanan. Kalo kita telaah, semua profesi yang
disebutkan di atas hampir semua cakupannya lokal alias jarang banget ada warga
yang bekerja di tempat yang jauh dari rumahnya seperti masyarakat kota pada
umumnya. Problem mendasarnya ya balik lagi, soal akses. Biar pesannya lebih
mudah tersampaikan, gua coba sajikan satu persatu sesuai variabelnya.
Kependudukan
Secara resmi gua belum dapet data pastinya.
Satu-satunya data yang gua dapet saat ngobrol dengan salah satu guru di
sekolah, di kampung ini pertumbuhan penduduknya menurun. Itu berarti angka
kematian lebih tinggi dibanding angka kelahiran.
Hal ini gua rasain langsung ketika pelaksanaan solat
jumat di masjid kampung. Gua itung-itung, jumlah jamaah yang hadir tanpa
mahasiswa ada 3 shaf, setiap shaf bisa nampung sekitar 15 orang. Menurut mazhab
syafii, salah satu syarat solat jumat bisa dilaksanakan adalah jumlah jamaah
(muslim laki-laki yang muqim) minimal 40 orang. Berdasarkan pengalaman itu,
kita bisa itung jamaah yang hadir di masjid kampung kurang lebih 45 orang dan
itu masih hitungan kasar. Jadi wajar saja di masjid itu setelah solat jumat 2
rokaat, berdiri lagi dilanjut solat dzuhur 4 rokaat. Mungkin bagi orang awam
ini aneh, atau bahkan ada yang suudzon ini sesat. Padahal memang ada beberapa
keterangan yang menyebutkan solat tersebut untuk kehati-hatian, khawatir syarat
solat jumatnya tidak terpenuhi sebab tidak mencapai jumlah minimal jamaah.
Sanitasi
Ini juga penting. Dampaknya bisa sangat luas. Sanitasi
berpengaruh pada kesehatan dan kualitas hidup masyarakat. Persis di samping
basecamp panitia, ada rumah warga yang sanitasinya masih memprihatinkan. Kamar
mandi luar, pintu berbahan kain, dinding dari banner bekas dan yang paling
penting; pembuangan langsung ke selokan di bawahnya. Bisa bayangin? Gausah deh,
kita ga bakal tahan. Dan itu real, asli gua nyaksiin sendiri.
Supplai Air
Kebetulan banget saat itu sedang masuk musim kemarau.
Beberapa titik di kampung Cioray masih kekurangan air, khususnya warga yang
tinggal di daerah atas. Untuk mencukupi kebutuhan seperti MCK dan minum, mereka
mengandalkan sumur berkatrol yang ada di masjid. Miris sih sebenernya. Di kota
yang berjuluk “Kota Hujan” ini masih bisa mengalami kekeringan juga. Padahal
dulu walaupun masuk musim kemarau, daerah-daaerah yang terletak di dataran
tinggi masih mendapatkan supplai air dari sungai dan mata air. Tapi sekarang?
Sulidd..
Penyebabnya? Tidak lain tidak bukan adalah kerusakan
alam. Bergesernya fungsi lahan penyerapan menjadi ladang dan bangunan, serta
aktivitas pertambangan kapur milik Indocement, bisa menjadi sebab terjadinya
kerusakan keseimbangan ekosistem di kampung tersebut.
Ciri khas Indonesia
Sama seperti sub judul di atas, warga kampung Cioray
juga punya sifat seperti orang Indonesia di mata dunia. Orangnya ramah tamah.
Dibuktikan oleh pak RT yang rela rumahnya kami tinggali selama 10 hari dengan
segala kerepotannya. Sambutan hangat warga sekitar ketika pertama kali kami
datang, sapaan tiap pagi ketika kami memulai beraktivitas, sangat bisa membuat
siapapun yang singgah di sana merasakan kenyamanan dan ketentraman.
Di tambah lagi ada anak-anak yang lucu dan
menggemaskan. Mereka yang selalu ‘gangguin’ mahasiswa di rumah. Setiap kami
istirahat di rumah, mereka juga ikut hadir dengan bermacam kegiatannya. Ada
yang ngajak maen, minta digendong, minta jajan, pinjem hp dan segudang
kenakalan lainnya. Tapi ternyata justru itu adalah hal-hal yang kami rindukan
saat berpisah dengan mereka. Bahkan hingga sekarang.
4. Kondisi
pendidikan
Ini dia bagian paling seru. Saat pengabdian, gua
berperan sebagai pengajar. Sekolah yang jadi target pengajaran kami adalah MI
Hidayatul Islam. Selama satu minggu kami berbagi peran dengan guru sekolah
tersebut untuk berbagi ilmu dan pengalaman. Gua kebagian jadi guru mata
pelajaran IPS. Kenapa gua pilih IPS? Karena selain suka dengan IPS, gua juga merasa
punya passion tersendiri di salah satu cabangnya, yaitu geografi.
Secara umum sekolah tersebut masih memiliki fasilitas
yang layak walaupun bangunannya sudah banyak yang harus diperbaiki. Di sana
terdapat 5 ruangan yang terdiri dari 1 ruang guru dan kepala sekolah, 4 ruang
kelas dengan kondisi 3 layak dan 1 tidak dapat digunakan. Di sekolah tersebut
juga terdapat 3 kamar mandi yang bersebelahan dengan kandang kambing dan
kondisi ketiganya tidak dapat digunakan. Sedih ya bacanya, apalagi kalo kalian
lihat langsung ke sana. Dijamin auto bersyukur deh.
Dari segi tenaga pengajar, sekolah tersebut hanya
terbatas memiliki 6 guru (kalo ga salah) yang semuanya belum satupun
diangkat menjadi ASN (Aparatur Sipil
Negara) alias honorer. Salah satu guru curhat bahwa mereka belum punya gaji
pokok. Mereka hanya dibayar dari dana BOS yang turun berkala dan tergantung
jumlah murid yang terdaftar pada tahun
ajaran tersebut. Lebih lanjut lagi, mereka mengajar bukan karena gaji. Karena
gaji yang didapat setiap bulannya tidak akan mencukupi kehidupan mereka. Bapak
Ibu guru di sekolah tersebut murni mengajar karena panggilan hati. Ikhkas
menginvestasikan waktunya untuk memajukan kampung dengan visi mencerdaskan
kehidupan bangsa. TOP banget deh kalo denger kisah mereka.
Dari segi siswa, wah lucu-lucu deh pokoknya.
Sifat-sifat yang literally anak-anak masih sangat terasa. Sesuai dengan judul
tulisan ini. Nasib mereka masih kurang baik jika dilihat dari segi pendidikan.
Jumlah anak di setiap kelasnya beragam. Contohnya kelas 2 yang hanya diisi oleh
tidak lebih dari 10 siswa. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang
tidak terlalu berkembang. Di MI Hidayatul Islam terdapat 6 kelas yang
bergantian, 3 kelas pagi dan 3 kelas agak siang. Hal ini karena terbatasnya
jumlah ruang kelas sehingga siswa harus dibagi shift untuk bisa tetap
bersekolah.
Fakta unik lainnya adalah masih ada beberapa siswa
yang belum lancar membaca dan menulis, bahkan di bangku kelas 3 sekalipun. Ada
juga kisah-kisah unik yang gua alamin selama ngajar di kelas dan menurut gua
akan sangat penting untuk dibagikan agar kalian mengerti keadaan sesungguhnya
di sana.
Jadi hari itu adalah hari pertama gua ngajar,
jadwalnya kelas 4. Bab yang akan dipelajari adalah Peta. Pas banget sama
kehalian gua hehe. Di awal pembelajaran gua minta untuk ditampilkan peta
Indonesia yang di pasang di papan tulis putih. Dimulai dengan pengenalan
unsur-unsur peta. Agar pembelajaran lebih interaktif, gua ngajak beberapa siswa
untuk maju ke depan. Siswa yang maju kedepan diberikan instruksi untuk
menunjukkan di mana lokasi kampung mereka berada, sebagian siswa ada yang bisa
menunjukkan walaupun belum tepat, tapi setidaknya masih di pulau Jawa. Oke sesi
maju ke depan berakhir. Selanjutnya giliran gua yang bertanya kepada siswa. Gua
berencana untuk sedikit bermain dengan menunjuk salah satu pulau di peta, lalu
mereka menyebutkan nama pulau tersebut. Telunjuk gua menunjuk sebuah pulau
besar yang berada di paling barat Indonesia.
“Ada yang tau ini pulau apa?”
Seketika kelas hening. Siswa saling bertatapan.
Mungkin karena mereka kebingungan. Tiba-tiba siswa ada yang nyeletuk..
“Itu Pulau Cioray”.
Sontak gua kaget dong. Sambil sedikit terhibur dengan
jawabannya, sebenarnya gua sedih melihat kenyataan bahwa siswa kelas 4 masih
belum tahu letak dan bentuk pulau Sumatra. Coba kalian renungkan deh. Melihat
realita bahwa anak-anak di daerah yang bukan pelosok loh, masih di dekat
Ibukota, dan mereka masih belum mengenal wilayah negaranya sendiri. Dari situ
tujuan gua berubah. Yang awalnya berniat mengajarkan materi seusai dengan
kurikulum, lekas gua ganti dengan materi seputar wawasan ke-Indonesiaan. Karena
bagi gua, mengenal bangsa sendiri itu lebih penting dibanding siswa hafal
materi sekolahnya.
Setelah pengalaman itu, gua mulai paham bahwa selama
ini mereka belajar di kelas hanya berdasarkan buku dan materi saja, apalagi
dengan kondisi keterbatasan ilmu dan wawasan yang dimiliki oleh guru di sana,
maka transfer ilmunya juga terbatas. Jadi tidak heran kalo siswa di sana masih
belum banyak mengenal beberapa pengetahuan yang menurut kita sangat mendasar.
Di hari berikutnya, giliran jadwal kelas 3 dan 5. Jika
sesuai dengan kurikulum, materinya adalah bab tentang lingkungan. Belajar dari
pengalaman, pada pengajaran kali ini gua
akan menitikberatkan untuk membuka wawasan dan pikiran mereka. Karena materinya
lingkungan, hari itu gua memutuskan untuk menunjukkan gambar-gambar bentang
alam dan bangunan menggunakan laptop. Dan responnya luar biasa. Saat gua
bertanya “di sini ada yang pernah ke Jakarta?” dalam satu kelas, hanya satu dua
orang yang mengaku pernah. Sisanya belum. Akhirnya gua tunjukkan gambar kondisi
perkotaan. Perumahan penduduk, jalan raya, bandara, pelabuhan dan tempat
rekreasi. Kalian tahu bagaimana reaksi mereka? Sangat antusias. Reaksinya
seperti seseorang yang baru melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat dalam
hidupnya! Di situ gua terharu. Separah ini kah ketidaktahuan mereka terhadap
dunia luar? Sambil menunjukkan gambar jalan raya yang mulus, gua menyisipkan
pesan kepada mereka bahwa suatu saat, jalan di kampung mereka akan sebagus
jalan yang ada di foto. Dan merekalah yang akan merubahnya!
Belum habis di situ. Saat masuk materi lingkungan
alami, gua ingin menjelaskan tentang keindahan pantai dan laut.
“Ada yang pernah main ke pantai?” semua siswa diam.
Tanda tidak satupun dari mereka ada yang pernah ke pantai. Okelah mungkin masih
wajar, karena di Bogor sendiri tidak ada pantai. Tapi yang membuat dada sedikit
sesak adalah pertanyaan yang kedua.
“Kalian tahu ga, rasanya air laut?” sebuah pertanyaan
sepele menurut kita. Tapi kalian tahu apa jawaban mereka? MEREKA TIDAK TAHU
BAHWA AIR LAUT RASANYA ASIN. Huaah sebagai pengajar IPS, gua shock dong.
Pengetahuan dasar yang mustahil orang tidak tahu, mereka tidak tahu. Untungnya
gua sudah menyiapkan gambar pantai di laptop. Saat gua buka gambarnya.. daaan
seketika raut wajah mereka berubah antusias. Gua nampilin gambar pasir putih
yang lengkap dengan pohon dan ombak khas Bangka Belitung. Mereka bersahutan.
“Wah alusnya”,”Ih uing hayang renang di ditu” dan
saking penasarannya, mereka berebut menatap layar monitor.
Begitulah sedikit gambaran kondisi siswa di kampung
Cioray. Setelah tahu dan merasakannya sendiri, tidak tergerak kah hati kita
untuk melakukan sesuatu?
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
UUD 2945 pasal 28 B ayat 2.
5. What We Do?
Selain melakukan pengajaran, kegiatan kami di sana
juga dimeriahkan oleh berbagai aktivitas lainnya seperti penyuluhan pertanian
oleh narasumber dari IPB, ada juga kegiatan rehab ruang kelas, pembangunan
gapura kampung, donasi buku bacaan dan penyaluran bantuan sembako untuk warga
yang membutuhkan.
Cukup sekian dulu kisah tentang Cioray. Semoga kalian
bisa mengambil manfaat dari tulisan ini. Dan khusus untuk adek-adek didikku,
jangan pernah takut untuk bermimpi dan mengutarakan mimpi. Yakinlah bahwa 10-15
tahun yang akan datang, kampung Cioray akan bermetamorfosis sempurna menjadi
kampung swasembada dan maju. Semuanya tergantung kalian, masa depan ada di
pundak-pundak kalian!
Kaka yakin suatu saat salah satu dari kalian (siswa)
akan membaca tulisan ini. Kaka berdoa kepada Allah semoga saat itu terjadi,
kalian sudah menjadi manusia yang berguna bagi desa dan masyarakat Cioray. Selamat
berjuang!!!
BONUS
Anak tongkrongan yang empatinya bukan ke sesama
gengnya aja, tapi empati ke sekitar.
Penampakan tim pengajar EDI 2019. Dari kanan ke kiri:
Fadia (MTK), Martina (English), Iis (Kepsek), Ayes (IPA), Adzie (PPKN), Rico
(Bahasa Indonesia), wawan thea (IPS), kurcaci nyempil (Ilham nama samaran
David, biang kerok milik Cioray)
“Kakk..
gendongg..”
Jangan
lupa ngaji sob, Allah nomor satu.
MC professional kembali beraksi!
TERIMA
KASIH
Komentar
Posting Komentar