Kualitas Udara Meningkat Saat Pandemi, Berita Baik?
ini adalah esai opini yang dilombakan dalam kompetisi Menulis Opini yang diselenggarakan oleh Pusat Prestasi Nasional Kemendikbud 2020. gatau dah juara apa engga. menang ga menang sing penting nulis!
Kualitas Udara Meningkat Saat Pandemi, Berita Baik?
Diberlakukannya
karantina wilayah/lockdown di
sebagian besar wilayah di dunia akibat pandemi Covid-19, kini menimbulkan
dinamika baru. Di Indonesia sendiri, pemerintah telah merespon kondisi tersebut
melalui Presiden Joko Widodo yang mengimbau kepada masyarakat untuk “belajar,
bekerja dan beribadah dari rumah”. Kemudian disusul dengan diterbitkannya Surat
Edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait penyesuaian pendidikan di
Indonesia serta dimulainya kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar)
oleh pemerintah di wilayah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Karantina
yang dilakukan oleh sebagian besar wilayah di dunia ini bukan tanpa alasan.
Menurut WHO, kunci untuk memutus rantai penyebaran virus ini adalah dengan penerapan
physical distancing. Hal ini menjadi
efektif karena dapat meminimalisir penularan virus secara kontak fisik maupun
penularan dalam skala jarak dekat.
Pandemi
ini juga menuntut kita untuk bisa beradaptasi dengan dinamika kehidupan baru. Siswa
dan tenaga pendidik “dipaksa” untuk
segera mahir menggunakan fitur kelas online
melalui pemberlakuan sistem PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) khususnya di sekolah
menengah atas dan perguruan tinggi.
Di
beberapa sektor pekerjaan, para pekerja yang biasanya harus bangun pagi dan
bersiap berangkat ke tempat kerjanya, kini tidak perlu lagi datang ke tempat
kerjanya karena dituntut untuk bekerja dari rumah melalui kebijakan WFH (Work From Home).
.
Jika
ditelaah lebih dalam, jagat dunia maya dan media sosial kini sedang trending oleh sebuah slogan imbauan agar
tetap berada di rumah, yaitu hashtag #DirumahAja sebagai kampanye untuk tetap
menerapkan physical distancing.
Ada
hal menarik yang dapat diamati selama PSBB berlangsung, data yang diambil dari
LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) RI menunjukkan perbandingan
akumulasi NO2 (Nitrogen Oksida) pada bulan Februari-Maret pada tahun
2019 dan 2020.
Data
tersebut menunjukkan perbandingan yang cukup signifikan pada saat sebelum dan
sesudah pandemi. Pada tahun 2019, terlihat konsentrasi NO2 yang
cukup tinggi di wilayah Jawa barat ditandai dengan wilayah yang berwarna
kuning-kemerahan. Sementara pada tahun berikutnya, konsentrasi tersebut sudah
berwarna hijau yang berarti terjadi penurunan kadar NO2.
Dalam
skala nasional, terjadi perubahan kualitas udara akibat pandemi khususnya di
wilayah barat Indonesia. Gambar di atas menunjukkan perbedaan citra kualitas
udara pada saat setelah dan sebelum pandemi. Data tersebut menunjukkan telah
terjadi perubahan kualitas udara (partikulat PM10). Pada bulan Maret 2019 saat
pandemi belum melanda Indonesia, citra udara di daratan sebelah barat Indonesia
ditutupi oleh lapisan berwarna merah yang menunjukkan konsentrasi polutan yang
tinggi. Sedangkan di bulan yang sama pada tahun berikutnya, terjadi penurunan
kadar polutan udara ditandai dengan berkurangnya lapisan merah yang menutupi
daratan di sebelah barat Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa pandemi yang
terjadi di Indonesia berdampak pada penurunan kadar polutan udara.
Tidak
hanya di Indonesia, negara-negara lain yang terdampak pandemi ini pun mengalami
hal yang sama. Ini menunjukkan penurunan kadar polusi udara terjadi secara
global.
Menurut
para ahli, hal ini tidaklah mengejutkan. Dengan diberlakukannya pembatasan
aktivitas manusia, sektor penyumbang terbesar polutan udara seperti industri,
pabrik dan transportasi, aktivitasnya menurun menjadi lesu. Hal ini tentu
menyebabkan tereduksinya angka pencemaran udara.
Dampak
pandemi ini bukan sekedar tentang lingkungan hidup. Antitesisnya adalah
Covid-19 ini telah memakan korban ratusan ribu jiwa. Hingga saat tulisan ini
dibuat, telah tercatat 264.046 kasus kematian di seluruh dunia.
Maka
timbul sebuah pertanyaan, apakah kita harus berhadapan dengan ancaman pandemi
dulu untuk bisa mereduksi kerusakan lingkungan? Apakah kita harus mengorbankan
nyawa manusia dulu untuk bisa menghirup udara segar?
Tulisan
ini hadir sebagai alarm. Bukankah mencegah itu lebih baik dari pada mengobati? Saya
optimistis sebenarnya kita bisa menjaga bumi tanpa harus terlebih dahulu
ditegur oleh bumi.
Sudah
saatnya dunia industri lebih aware terhadap
dampak pencemaran yang ditimbulkannya. Pembatasan gas emisi buang, pengendalian
limbah sebelum dibuang ke lingkungan, serta pengawasan pemerintah melalui AMDAL
(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan perangkatnya sudah barang tentu
mutlak diterapkan.
Untuk
mengurangi gas buang kendaraan bermotor, kita bisa memulainya dengan beralih
menggunakan moda transportasi publik, cukup berjalan kaki atau bersepeda jika
ada keperluan yang jaraknya dekat, atau bahkan sesimpel rutin mengganti pelumas kendaraan bermotor. Hal sederhana
yang dampaknya luar bisa jika dikerjakan secara kolosal.
Pemerintah
juga punya peran vital dalam merancang pembangunan berkelanjutan yang berbasis
pada kelestarian lingkungan. Tidak hanya soal kepentingan pertumbuhan ekonomi
dan investasi, kelesarian lingkungan juga menjadi faktor penentu kehidupan di
masa depan.
Selain
itu, kita juga harus tetap menerapkan pola hidup sehat. Kebiasaan baru seperti
rutin mencuci tangan sebelum makan, mengenakan masker saat khawatir terkena
penyakit, memilih makanan yang sehat, rutin berolahraga, menerapkan etika
bersin dan beragam kebiasaan baik lainnya harus tetap kita jaga walaupun
pandemi ini telah selesai.
Jika
telah timbul kesadaran dari setiap individu untuk sedari dini menjaga diri,
lingkungan dan bumi, maka hanya soal waktu untuk bisa melahirkan masyarakat,
bangsa dan dunia yang ramah lingkungan.
Daftar
Pustaka:
1. SE
MENDIKBUD Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan Corona Virus Disease Covid-19
pada Satuan Pendidikan
Komentar
Posting Komentar