Cerpen - #5 Badai
Gema suara bel menjalar ke seisi gedung. Sinyal jam istirahat telah tiba. Siswa berbondong-bondong meninggalkan ruang kelas. Sedikit menumpuk dan terjadi kemacetan. Maklum, gedung tempat belajar kami terdiri dari deretan kelas yang hanya memiliki satu akses keluar. Gedung itu hanya menyediakan satu lorong yang terasa sempit saat semua orang keluar bersamaan.
Aku termasuk orang yang paling awal keluar kelas. Hari ini terasa berbeda. Jika kemarin aku selalu betah untuk berlama-lamaan di kelas. Kini situasinya berubah seratus delapan puluh derajat. Sejak insiden itu, duduk di bangku kelas tak lagi seindah duduk di taman bunga. Semua obrolan terasa membosankan. Hembusan kipas angin justru membuatku gerah. Apalagi menyimak pelajaran, jangankan masuk kuping kanan keluar kuping kiri, menyentuh kuping pun tidak.
Aku berjalan lesu menyusuri lorong yang kekurangan cahaya. Tiap langkah kakinya paralel dengan perasaanku yang sedang berkecamuk. "Kok bisa ya?", "kakak kelas?", "atas dasar apa dia mau menerimanya?", dan sederet pertanyaan retoris lainnya yang padahal jawabannya sudah pasti, tapi aku masih mempertanyakannya.
Langkah kaki yang gontai itu coba ku arahkan ke tempat paling nyaman di sekolah. Mungkin dinginnya lantai masjid bisa sedikit menetralisir perasaanku. Di waktu duha seperti ini, adalah waktu yang tepat untuk rehat sejenak. Mengadukan segala keresahan atas pedihnya hati menghadapi kenyataan. Empat rakaat pada pagi ini terasa sangat khidmat. Mungkin karena efek kadar kecewa yang sedang tinggi, membuatku hanyut dalam pinta.
Lengkingan khas itu kembali terdengar. Suara bel sekolah. Tanda waktu istirahat telah berakhir. Namun tidak dengan kenyataan pahitnya; dia telah menjadi milik yang lain. Meninggalkan lubang yang menganga di dalam hati. Menyisakan rasa yang belum pernah diungkapkankan, namun sudah jelas jawabannya. Tidak. Tidak ada harapan.
Bagaimanapun keadaannya, aku harus siap. Saat ini hanya ada dua pilihan. Terus tersungkur meratapi keadaan yang tak berpihak, atau segera bangkit menata hati yang berantakan. Kalian tahu aku memilih opsi yang mana?. Jelas pilihan kedua.
Aku berusaha tegar menghadapi kenyataannya. Menjalaninya seolah tidak pernah terjadi sesuatu, membohongi akal agar semua terlihat baik-baik saja. Menjadi sok kuat. Setidaknya hingga pelajaran terakhir selesai.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Walaupun mereka berpasangan, langit tidak pernah meminta izin kepada bumi untuk menurunkan badai. Jika aku menjadi bumi dan kamu menjadi langit, maka sudah jelas, dia adalah badainya.
Komentar
Posting Komentar