Misi Balas Budi Penerima Beasiswa Zakat



“Peserta atas nama Muhammad Dicky Darmawan dengan nomor peserta xxx dinyatakan TIDAK DITERIMA pada SBMPTN 2018. JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT!

Tulisan tersebut muncul pada tampilan layar laptop. Seorang anak laki-laki yang baru lulus SMA tampak memasang wajah lesu. Dia hanya bisa mengeluh sambil mengelus dada ketika membaca hasil pengumuman. Ini bukan pertama kalinya Wawan ditolak oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit. Sebelumnya dia juga ditolak oleh institut teknik terbaik di Jawa Barat melalui jalur pendaftaran lain, SNMPTN.

Sejak menjelang kelas 12, cita-cita Wawan sudah tinggi. Dia ingin berkuliah di PTN terbaik dengan jurusan Teknik. Cita-cita yang umum dimilki oleh siswa SMA laki-laki pada masa itu. Namun sayang, idealismenya harus kandas oleh kenyataan.

Pahit memang. Tapi Wawan tidak putus asa. Akhirnya dia mau menerima kampus yang telah menerimanya sejak awal, kategori kampus yang B aja, tidak favorit, dan sering dijadikan pilihan kedua – menurut Wawan. Sekuat apapun Wawan menolak, ternyata Allah tetap mengarahkan skenarionya ke kampus ber-Jakun (Jas Kuning) ini. Maka sejak saat itu, dimulailah kisah perkuliahan di kampus politeknik negeri di ibu kota.

Wawan segera memperbarui life plan-nya. Setelah gagal mencentang poin “berkuliah di PTN favorit”, kini dia menambahkan poin “berkuliah dengan mandiri finansial”. Wawan kemudian menyusun strategi. Mencari informasi beasiswa sebanyak mungkin, kemudian bersemangat mengisi formulir dan link pendaftarannya.

Singkat cerita, Wawan dipertemukan dengan sebuah beasiswa yang sumber dananya berasal dari kantong umat. Program Mahasiswa Cerdas (PMC) BAZNAS DKI Jakarta. Sebuah beasiswa bagi mahasiswa Jakarta yang terkendala ekonomi, berprestasi, atau aktif berorganisasi yang berorientasi pada nilai manfaat. PMC inilah yang kelak menjadi kawah candradimuka dalam kisah perkuliahan Wawan. Beasiswa ini berhasil mengalirkan hak-hak umat ke dalam darah setiap penerimanya, termasuk Wawan. “Darah dagingnya adalah milik umat, maka harus kembali kepada umat.”, kiranya begitu kalimat yang pas untuk menggambarkan kondisi Wawan saat itu.

Kampus adalah laboratorium kehidupan. Ungkapan yang sering dibicarakan oleh alumni sekolah Wawan pada sesi diskusi saat mentoring di sekolah. Pada tahun pertama kuliah, Wawan ingin mencoba hal baru yang belum dia rasakan saat di bangku sekolah. Bukan lagi Pramuka, OSIS, ataupun ROHIS yang dulu dia pernah jadi ketuanya. Wawan justru mendaftarkan diri ke Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) di kampusnya. Mitos bahwa MAPALA adalah organisasi yang menguji mental, fisik, dan memiliki lingkungan pergaulan yang “asyik” telah dibuktikan oleh Wawan. Mitos telah berubah menjadi fakta.

MAPALA telah membentuk Wawan menjadi pribadi yang tangguh baik secara fisik maupun mental. Pengalaman survival tanpa makanan di hutan, berjalan kaki sepanjang 80 KM menyusuri pantai selatan pulau Jawa, memanjat tebing, masuk ke dalam gelapnya gua, hanyut terbawa arus sungai yang deras, telah mendidik Wawan menjadi sosok yang tangguh.

Pada tahun kedua kuliah, Wawan yang sejak sekolah tertarik pada pelajaran Geografi dan Sejarah, kini mulai mengenal dunia pergerakan mahasiswa. Terjadi perdebatan di dalam hati Wawan. Satu sisi hatinya mengatakan untuk tetap melanjutkan aktivitas di alam, menyelesaikan pendidikan dan menjadi spesialis caving. Namun sisi hati lainnya berkata untuk segera bergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), terlibat langsung dalam upaya-upaya perbaikan di masyarakat.

Masa itu menjadi waktu-waktu yang sulit bagi Wawan. Perdebatan di hatinya membuat dia tidak bersemangat untuk berkegiatan apapun. Beruntungnya, Wawan punya supporting system yang baik. Sejak dua tahun terakhir Wawan tinggal di asrama beasiswa PMC bersama dengan 12 mahasiswa lainnya dan satu orang pendamping asrama.

Malam itu Wawan memberanikan diri untuk berbicara empat mata dengan pendamping asramanya. Seorang mantan aktivis sekaligus mantan wakil ketua BEM kampus pertanian terbaik di Jawa Barat. Wawan ingin curhat sekaligus meminta nasehat atas kegalauan yang terjadi di hatinya.

“Kau harus mencabut pakunya. Tindakan pengobatan apapun tidak akan menyembuhkan luka jika pakunya belum dicabut.” Kurang lebih begitu poin inti dari percakapan semalam. Besok paginya  Wawan merenung. Memaknai sepenggal kalimat yang disampaikan Bang Amir semalam.

Apa yang membuatnya malas dan lesu berkegiatan belakangan ini? Kini Wawan mulai menyadarinya. Lingkungan MAPALA yang “asyik” itu menimbulkan keresahan di hatinya. Wawan baru menyadari bahwa dia tidak pernah cocok dengan asap rokok dan minuman yang memabukkan. Hati kecilnya menolak saat waktu salat dinomor duakan. Dia tidak pernah nyaman ketika bermain gitar sambil mengobrol ngalor-ngidul hingga pagi buta. Wawan tidak benar-benar nyaman dengan lingkungan yang “asyik” itu. Selama ini dia hanya sok menikmatinya.

Pada bulan berikutnya, selepas pulang salat Isya’ Wawan kembali menemui Bang Amir. Konsultasi jilid dua. Kini Wawan telah mencabut paku dari lukanya. Sejak malam itu, Wawan mulai tertarik untuk mengenal dunia organisasi kampus lebih luas. Ketertarikannya pada isu-isu sosial politik dan kehidupan masyarakat mengantarkannya kepada tantangan baru.

Pada semester genap di tahun keduanya kuliah, Wawan menjajal perekrutan terbuka pengurus BEM. Bersaing dengan pendaftar lain untuk masuk ke Bidang Pergerakan dan Pengabdian Masyarakat.

***

Sepatu Wawan menginjak kubangan lumpur. Jalan setapak itu semakin licin oleh tanah merah akibat hujan semalam. Angin sejuk khas pegunungan menyapa lembut anak rambut. Wawan bersama rombongan panitia dan pengurus BEM lainnya berjumlah 12 orang. Diutus untuk melakukan survei calon desa tempat pengabdian masyarakat.

Selain asrama dan alam, kini Wawan telah menemukan rumah barunya. BEM sebagai inkubator baru untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Di sela perjalanannya menuju desa, Wawan telah memantapkan hati. Satu langkah kakinya mengingatkan dia akan sumber penghidupan yang selama ini dia terima – pemberian masyarakat. Langkah kaki lainnya seolah menghadirkan kembali ungkapan itu, “Darah dagingnya adalah milik umat, maka harus kembali kepada umat.”

Wawan berjanji untuk mengembalikan kebaikan masyarakat yang dia terima. Janji itulah yang membuat dia selalu totalitas atas kegiatan apapun yang berkaitan dengan masyarakat. Menjadi mahasiswa berprestasi, mengabdi di desa tertinggal, memperjuangkan hak masyarakat, turun aksi ke jalan, adalah segelintir aktivitas yang Wawan lakukan untuk menunaikan misinya. Misi balas budi seorang penerima beasiswa zakat.



Bersambung…



Komentar

Most Read Post

MY LIFE PLAN