LOMBA BLOG PT. KAI - Aku Cinta Sembrani
malam. awalnya gue nulis ini buat ikutan kompetisi blog yang diselenggarain oleh PT KAI. tapi karna gue kurang teliti baca peraturan lombanya, alhasil tulisan yang harusnya bergaya listicle, gue nulisnya malah pake gaya ala ala novel gitu. jadi malu sendiri hahaha
tapi selow, bagi gue ga ada karya yang gagal. semua karya itu unik dengan ciri khas dan kisahnya masing-masing. selamat menikmati~
AKU CINTA SEMBRANI
Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, di kesempatan ini aku akan bercerita tentang pengalamanku menggunakan jasa transportasi kereta milik PT. Kereta Api Indonesia. Tulisan ini murni berdasarkan pengalaman langsung penulis, semoga bisa menghibur dan menambah wawasan untuk semua pembaca.
Ceritanya terjadi ketika aku masih duduk di bangku SMA, lebih tepatnya SMA kelas 11 atau orangtua sekarang lebih paham dengan istilah kelas 2 SMA. Biasanya di sekolahku, momen menjadi siswa kelas 11 itu sangat spesial dan selalu dinanti-nanti. Di tingkat 2 itu, sekolah punya program tahunan study tour “Goes to Campus”. Aku sangat bersemangat mengikuti kegiatan ini. Karena itu berarti, aku bisa jalan-jalan ke berbagai kota di Indonesia. Kebetulan tujuan destinasinya adalah beberapa Perguruan Tinggi yang ada di pulau Jawa, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Wah! Rasanya hatiku semakin berdebar tidak sabar untuk segera pergi ke sana.
Beberapa pekan sebelum berangkat, sekolah membagikan angket isian siswa yang berisi pilihan transportasi yang akan digunakan dan daftar perguruan tinggi yang akan dikunjungi. Saat melihat angket tersebut, aku langsung mencari kolom pilihan transportasi dan mencari kata “kereta”.
Aku suka kereta. Menurutku, jasa transportasi yang paling terjangkau dan merakyat pada masa ini adalah kereta. Selain biaya yang cukup terjangkau dibandingkan dengan transportasi lain, ada sisi lain yang membuatku sangat bersemangat naik kereta, yaitu suasana perjalanan di dalam gerbongnya. Aku rasa akan sangat menggembirakan jika bisa menghabiskan waktu bersama orang-orang tercinta di gerbong kereta. Suasana gerbong yang hangat, ditambah berbagai sajian pemandangan di jendela gerbong, seketika memenuhi ruang imajinasiku. Loh kok imajinasi? Itu karena aku sendiri belum pernah naik kereta jarak jauh. Paling-paling hanya naik KRL saat bepergian keliling Jakarta. Itupun sesekali.
Aku sangat berantusias dan berharap agar kereta bisa terpilih menjadi transportasi kegiatan kami.
Beberapa hari setelahnya, hasil angket diterbitkan. Huh, aku bahkan sedikit menahan napas saat mulai membaca hasil angket. Dan boom! Ada kata “kereta” di dalamnya. Aku sangat bersyukur. Akhirnya mimpiku akan segera terwujud-naik kereta. Walaupun kereta hanya menang suara di pilihan transportasi kepulangan, sedangkan keberangkatan menggunakan bus dengan alasan bisa berhenti dan mampir ke beberapa tempat. Tapi, bagiku no problem, toh pulangnya masih bisa naik kereta.
***
Tidak semua kisah keseruanku di sana akan dibagikan di sini, karena akan sangat panjang sekali narasinya. Mungkin akan aku bagikan pada kesempatan lain. Kali ini, mari kita bahas bagian terbaiknya saja-naik kereta.
Hamparan langit Kota Pahlawan cerah, secerah suasana hatiku. Cuaca terik khas kota-kota besar, seolah semakin menyengati semangatku. Hari ini adalah hari yang bersejarah. Hari yang setiap menitnya akan ku kenang dengan baik. Ini adalah hari pertamaku naik kereta jarak jauh.
Aku mengingat tanggalnya dengan baik. Hari Kamis, 9 Februari 2017. Sore itu bus kami tiba di pintu gerbang Stasiun Pasar Turi. Stasiun ini dikelilingi bangunan berarsitektur kota bergaya lama, disibukkan dengan padatnya lalu lintas dan ramainya kios pedagang kaki lima. Aku menikmatinya dari dalam bus yang sedang mengambil posisi terbaik untuk parkir.
Kami bergegas menurunkan barang bawaan. Aku yang barang bawaannya hanya sedikit, dengan senang hati membantu membawakan bungkusan oleh-oleh milik Bu Tintin, salah satu guru favoritku. Kami berbaris rapih di pelataran stasiun, menunggu registrasi selesai. Kami tidak perlu repot bergabung dalam antrean loket, semua urusan registrasi diserahkan kepada guide yang sejak hari pertama menemani perjalanan kami.
Pikiranku keluar dari perbincangan hangat teman-teman kelasku yang menunggu tidak sabaran. Sekarang aku lebih tertarik menatap seisi stasiun. Wow! Luar biasa. Suara desingan kereta yang datang dan pergi bergantian memenuhi langit-langit stasiun. Langkah kaki calon penumpang dan petugas hilir mudik menambah kesibukan di pelataran. Suara pengumuman sayup-sayup terdengar dari pengeras suara. Hembusan manja angin sore menerpa anak rambutku. Ah! Aku suka suasana ini.
“telolet.. telolet..”
Seketika lamunanku dibangunkan oleh suara unik. Suara klakson bus. Itu adalah bus yang menemani kami sepanjang perjalanan. Bus yang sangat istimewa. Suara klakson itu penanda mereka ingin berpamitan untuk pulang. Fasilitas lengkap dan pelayanan terbaik dari krunya, membuat suasana perpisahan itu semakin haru. Selamat jalan kalian. Hati-hati dj jalan. Terima kasih atas tumpangannya. Begitulah kira-kira jika aku menerjemahkan raut wajah dan ekspresi teman-temanku. Mereka cukup menaruh perasaan terhadap bus-bus itu.
Setelah melepas kepulangan bus, akhirnya kami dibagikan tiket dan segera bebaris antre masuk ke dalam stasiun.
Saat dalam antrean aku sempat bergumam dalam hati “sejak kapan kita punya jasa transportasi senyaman dan serapih ini?”
Kami tiba di tempat menunggu calon penumpang. Walaupun disediakan kursi untuk duduk, aku sama sekali tidak tertarik untuk duduk. Aku lebih suka berdiri dan mengeksplorasi setiap jengkal stasiun.
Aku berdiri di atas peron. Persis satu jengkal di belakang garis kuningnya. Pandanganku tertuju pada ujung rel dari arah Jakarta. 3 detik hening. Hanya terdengar suara khas nada dering stasiun.
Dari ujung rel yang mulai gelap karena senja, terdengar suara gemuruh mesin uap.
“tuut.. tuut.. bzzz”.
Serangkaian balok berjalan mendekat ke peron. Petugas cekatan memberikan tanda agar proses parkir-memarkir ini berjalan mulus. Eh, sejak kapan kereta bisa parkir?
Tertulis gagah “Kereta Api sembrani”. Badannya putih mengkilap disiram lampu sorot stasiun. Kepulan uap masih tersisa di atas cerobong asapnya. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.
Kereta Sembrani terdiri dari 11 unit gerbong dengan rincian 1 gerbong bagasi, 8 gerbong eksekutif, 1 gerbong makan, dan 1 gerbong pembangkit uap. Melayani rute jarak jauh Stasiun Gambir Jakarta-Stasiun Pasar Turi Surabaya, dengan jarak tempuh lebih dari 850 km dan durasi perjalanan rata-rata 10 jam 48 menit. Bagiku, ini adalah sebuah kereta yang amat keren.
Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pintu gerbong kereta. Suasananya comfortable banget. Aku bergegas mencocokkan nomor bangku dengan seat yang tersedia. Beruntungnya dalam satu gerbong itu khusus diisi oleh rombongan sekolahku. Begitu juga gerbong-gerbong penumpang berikutnya. Rasanya sudah seperti kereta pribadi saja. Malam ini kereta Sembrani eksklusif menjadi milik kami.
Bangku penumpangnya ditata sepasang-sepasang saling berhadapan. Kalian bisa saja memutarnya 180 derajat. Saat aku merebahkan badan, lapisannya empuk dan membuat nyaman. Pantas saja banyak orang yang terlelap sepanjang perjalanan. Tepat di depan pandangan mata, tergantung sebuah monitor yang lebih mirip seperti televisi. Menayangkan beragam iklan dan informasi terkait perjalanan.
Suara bising teman-temanku perlahan mulai hilang tepat saat kereta berangkat. Seketika hening. Tersisa suara mesin uap dan gesekan rel dengan roda kereta. Semuanya menikmati keberangkatan.
17.50 WIB, kereta memulai perjalanannya.
Aku yang sebenarnya mengantuk sejak dari kampus ITS, sekarang malah menjadi yang paling segar di antara teman-temanku. Sesekali menatap ke luar jendela. Menikmati sorot lampu cahaya yang bias oleh embun kaca. Goncangan ringan efek dari kecepatan kereta, menjadi terasa nikmat ketika kita benar-benar menikmatinya.
Aku duduk dengan khusyu’. Teman disampingku menawarkan snack yang ia bawa. Tetangga penghuni bangku sebelah sudah terlelap tidur menunduk. Mungkin dia kelelahan. Longkap dua bangku di depanku, malah ramai dikelilingi orang. Wajar saja, di sana sedang digelar permainan kartu yang mengundang penasaran banyak orang. Persis bangku di bawah televisi, empat orang sedang larut dalam obrolan hangat. Entah topik apa yang mereka pilih. Di bangku paling pojok, seseorang terlihat sedang menelpon dengan raut wajah yang tampak sedih, mungkin rindu mama di rumah, atau mungkin sedang merindukan seseorang yang tidak merindukannya. Sementara bangku di belakangku, diisi oleh Pa Ichsan, guru olahraga kami yang sejak dari Stasiun Pasar Turi awas mengawasi aktivitas gerbong. Gerbong kami sibuk.
Tibalah waktu salat isya’. Sejak awal, rombongan kami memilih untuk menjamak salat magrib ke waktu isya’. Aku sempat bingung. Bagaimana caranya salat di dalam kereta yang berjalan? Bagaimana dengan arah kiblatnya?
Sehari sebelum kami berangkat dari sekolah, Pa Yusup, guru agama kami telah membekali ilmu safar kepada siswa. Katanya, saat dalam perjalanan, cukup arahkan tubuh ke depan, itu adalah arah kiblat. Setelah aku pikir-pikir ternyata benar juga, kereta kami bergerak dari Surabaya menuju Jakarta, dari timur menuju barat, maka secara otomatis arah depan kereta menunjukkan arah barat sekalgus kiblat.
Kami mengantre bergantian mengambil air wudhu di toilet kereta yang mini tetapi tetap nyaman. Ada juga sebagian yang bertayamum. Semuanya bersiap menunaikan salat.
Saat pembekalan materi safar, sebenarnya Pa Yusup mengimbau agar kami salat di dalam kererta dengan berjamaah bersama teman sebangku. Tapi aku punya inisiatif lain. Sebuah ide gila. Kenapa kita tidak membuat jamaah besar saja seperti halnya salat berjamaah di masjid?
Awalnya banyak temanku yang tidak sepakat. Tapi setelah berdiskusi sejenak, akhirnya mereka mengalah dan ikut ke dalam jamaah yang aku buat. Orang yang duduk di bangku paling depan bertugas menjadi imam. Di tengah, ada yang menjadi muraqi atau penyambung suara imam. Salat dilakukan dengan duduk di bangku masing-masing. Kami salat dengan kondusif.
Memasuki dini hari, kesibukan gerbong perlahan mulai berkurang. Satu dua orang memutuskan untuk tidur. Aku termasuk di antaranya. Setelah puas menikmati suasana gerbong yang hangat dan melamun menatapi pesawahan gelap yang dimakan malam, aku memutuskan untuk ikut memejamkan mata.
Waktu terasa bergulir lebih cepat. Sayup-sayup suara pengemuman pengeras suara gerbong terdengar. Memperingatkan bahwa sebentar lagi kereta akan tiba di Stasiun Gambir. Aku lekas berkemas. Mengambil tas dan bawaan dari bagasi yang terletak di bagian atas gerbong. Gerbong kembali ramai dengan percakapan dan pergerakan orang.
“tuut.. tuut.”
Suara peluhan kereta Sembrani memecah udara Stasiun Gambir. Langit masih gelap diselimuti fajar. Penumpang turun perlahan sesaat setelah kereta terparkir sempurna di samping peron.
Aku pun ikut turun. Padahal enggan. Ingin rasanya kembali lagi ke Surabaya dengan menggunakan kereta ini. Tapi itu tidak mungkin. Aku pasti akan ketinggalan rombongan. Dengan berat hati aku meninggalkan si Sembrani sendirian. Sungguh perpisahan yang tidak aku inginkan.
Aku turun melalui tangga menuju lobi utama Stasiun Gambir. Saking lelahnya, aku duduk di sembarang tempat. Ternyata tidur 2 jam di kereta tidaklah cukup untuk memulihkan energi. Dengan tenaga yang tersisa, aku mencoba untuk terus membuka mata. Menatap sekeliling. Dan aku baru sadar, stasiun ini lebih ramai dibanding stasiun sebelumnya.
Antrean terlihat bermuara pada sebuah mesin yang lebih mirip seperti vending machine yang ada di kampusku. Tapi jelas-jelas itu bukan. Itu adalah pelayanan terbaru dari PT. KAI. Sebuah mesin cetak tiket mandiri. Calon penumpang akan dimudahkan dengan pembelian tiket secara manual melalui mesin tersebut.
Waw! Lagi-lagi aku tidak menyangka ada hal sekeren itu. Mereka benar-benar telah berusaha meningkatkan pelayanan dan kenyamanan penumpang. Patut diacungi dua jempol.
Bus jemputan kami telah tiba. Kami harus segera kembali ke sekolah, sebelum pulang ke pelukan keluarga masing-masing.
Komentar
Posting Komentar