Tentang Cinta

Postingan ini sempet gue delete dari blog, sesaat setelah peristiwa besar terjadi. Tapi setelah kondisi kembali membaik, akhirnya hati gue luluh juga buat ngepost ulang hehe



Tentang Cinta

Berawal dari keawaman, aku bertanya-tanya tentang cinta. Kata tanya apakah yang pas untuk menjawabnya? Apa, siapa, atau bagaimana?

Hingga tiba pada satu titik, saat aku mulai bisa menjawabnya.

Jawaban pertamaku adalah apa. Cinta dapat dijelaskan melalui pertanyaan apa. Cinta adalah.. ah, terlalu banyak definisi yang pernah ku dengar, mungkin masing-masing dari kalian pun punya versi yang berbeda-beda. Sederhananya, cinta adalah kemauan untuk menjaga.

Kata dasar “jaga” bisa bermakna banyak hal. Izinkan aku menguraikannya.

Pertama, tentang menjaga perasaan. Pada serangan pertama, cinta akan menyasar hati setiap korbannya. Ia akan meniupkan rasa yang tak biasa. Rasa yang apabila semakin dilawan, semakin kuat pula kita mengakui—kita sedang jatuh cinta.

Pada serangan kedua yang melibatkan orang di sekitar, pembahasannya menjadi sedikit lebih rumit, karena melibatkan lebih dari satu hati. Saat kita meresmikan perasaan yang tak biasa itu, sejatinya saat itu pula lah kita akan mulai diuji. Diuji dengan ujian yang akan menjawab sebuah pertanyaan, apakah kita sedang benar-benar mencintainya?

Kedua, tentang menjaga kepercayaan. Senada dengan prinsip investasi, semakin banyak saham yang kita tanam semakin besar pula benefitnya. Kepercayaan adalah komoditi penting dalam bisnis percintaan. Sekali kita percaya dan berkomitmen dengan apa yang kita yakini, secara otomatis kita sudah untung dalam satu hal—selalu siap dengan kemungkinan terburuk. Dan semakin banyak kita percaya, semakin dewasa pula hati kita.

Sebaliknya, saat kamu berpihak pada sisi yang berlainan, bersiaplah untuk repot mengurusi perasaan. Jangan karena kamu ragu padanya, kamu justru rusuh berdebat dalam hati, berprasangka berlebihan, dan mencurigai segala kemungkinan ini dan itu. Kasihan hatinya kalo gitu.

Simpelnya, jika kita ingin berdamai dengan hati, biarlah kepercayaan itu menjalankan tugasnya.

Ketiga, tentang menjaga diri. Jangan memetik bunga yang belum mekar jika tidak ingin membuatnya layu. Pun sama. Jangan menuai cinta sebelum saatnya jika tidak ingin putus di tengah jalan. Lebih baik begini: “putus sekarang untuk langgeng nanti”.

Benarlah kutipan lama ini, “Aku dan kamu ibarat bumi dan matahari, mendekat hanya akan menghancurkan”. Karenanya, masing-masing dari kita harus tetap saling menjaga. Kamu tetap berputar di poros dan aku tetap mengitarimu di orbit. Dengan begitu, kita masih bisa bersama, walau dipisahkan jarak semesta. Karena tugas kita hanya menunggu, menunggu keputusan sang Pencipta, berjodoh atau tidak?

Ternyata aku salah. Cinta tidak cukup hanya dipahami dengan sebuah definisi. Maka selanjutnya, aku mencoba bereksperimen dengan melibatkan orang lain dalam petualangannya. Dan saat itulah aku menghadirkan kamu. Iya, kamu. Tapi sebelum berkisah tentang kamu, izinkan aku bercerita tentang orang-orang sebelum kamu, yang dulu aku pernah berniat mengajak mereka dalam petualangan ini, walau gagal. Semoga kamu cukup bersabar untuk nanti membacanya.

Sepertinya akan terlalu panjang tulisannya bila harus menceritakan semua. Aku hanya akan berkisah salah satunya saja. Mari kita permudah sebutan “mereka” dengan kata ganti dia.

Dialah yang berhasil menggiring opiniku tentang cinta bahwa untuk merasakannya, kita harus punya “siapa”. Dan pada saat itu, siapanya adalah dia. Aku terbawa suasana dengan perasaan yang tidak biasa ini. Aku bahkan hampir melupakan prinsip definisi yang sebelumnya aku pegang tentang cinta itu. Bagaimana tidak? Saat itulah hari-hari bersemangatku bermunculan, saat itu jugalah untuk pertama kalinya hatiku berdesir menahan luapan perasaan bahagia. Dan dari situ aku mulai menarik kesimpulan—aku sedang jatuh cinta.

Namun sayang, itu semua tidak bertahan lama. Saat semuanya mengalir begitu indah. Seketika telingaku pekak, dada tersesak, dan hatiku hancur saat mendengar sebuah berita besar.  Sebuah manuver yang tidak pernah kuduga. Sungguh sakit. Secara sepihak dia telah memilih seseorang selain aku. Alasannya jelas, dia ingin mendapat kepastian hubungan. Itulah yang tidak pernah berani ku tawarkan kepadanya. Dan sayangnya, ada orang lain yang lebih berani.

Aku mulai putus asa dengan cinta. Atau memang benar, aku tidak pernah berbakat soal ini. Bagaimana mungkin sesuatu yang harusnya membahagiakan justru membuat dadamu sesak? Sesuatu yang harusnya membuat senyum di wajah justru mengundang air mata?

Ah, rumit sekali. Dan untuk kedua kalinya aku salah. Menyandarkan cinta pada sosok seseorang, yang sekarang aku paham, berharap kepada manusia hanya akan mengundang luka.

Saat aku agak trauma dengan sesuatu yang orang menyebutnya cinta. Kamu hadir menawarkan kesempatan baru. Awalnya aku ragu, bahkan mencoba acuh. Tapi kamu berhasil. Sukses menutup lubang-lubang kecil di hati. Membuat aku lupa bahwa aku pernah dikhianati. Kamu berhasil.
Awalnya berjalan baik. Aku bahkan heran kenapa aku berani meresmikannya. Tapi tidak lama, rasa gelisah itu datang lagi. Hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari dua bulan, kita resmi bubar.

Uniknya momen bubar itulah yang menjadi clue pertama dalam menjawab persoalan di atas. Sejak saat itu, aku mulai sedikit paham bahwa cinta tidak hadir hanya dalam sebuah definisi, bahkan cinta tidak cukup hanya dengan kehadiran aku dan kamu. Lebih dalam dari itu, ternyata cinta lebih tepat dijelaskan dengan pertanyaan “bagaimana”.

Bagaimana adalah kata tanya yang paling kompleks, ia meliputi dimensi ruang dan waktu. Karena jawaban dari pertanyaan “bagaimana” adalah: kondisi dan proses terjadinya suatu peristiwa.

Bersamamu aku perlahan tercerahkan. Darimu aku belajar bahwa cinta adalah tentang bagaimana mengolah hati. Karena tidak menutup kemungkinan, kita bisa merasakan rasa sedih dan bahagia dalam waktu yang bersamaan.

Aku juga pernah mengalami masa-masa terpuruk yang amat menyiksa hati. Tapi sekarang aku sadar bahwa rasa pedih, kesal, marah, dan benci itu tidak datang dari orang lain, melainkan karena hati yang terlalu sempit menerima kenyataan. Itulah seni mengelola hati. Dan itulah bagian dari cinta.

Darimu aku juga belajar, bahwa cinta tidak melulu melihat hasil. Ada yang lebih indah dari itu. Sebuah proses. Sekenalnya denganmu, aku telah banyak melewatinya. Oh salah, bukan aku, lebih tepatnya kita. Banyak hal yang telah kita lalui. Hari-hari yang nyaman, mesra, hangat, manja, bahkan konyol selalu indah untuk dikenang. Begitu pun sebaliknya, hari-hari suram yang diwarnai dengan rasa pahit, kesal, dongkol, bete, cemburu, hingga cemberut akan lebih membuatmu tersenyum saat tidak sengaja mengingatnya.

Bagiku, itu semua adalah bagian dari cinta. Walau kita belum tahu akhir ceritanya, setidaknya kita sudah berjuang untuk berproses—mewujudkan impian bersama.

Terakhir, bukan cinta namanya jika tidak mendewasakan. Dengan beragam perasaan, kondisi, suasana hati, dan interaksi di dalamnya, itulah yang membuat kita semakin dewasa.

Aku yakin kamu yang sekarang sudah jauh melesat dibanding kamu yang dulu; saat pertama kali kita bertegur sapa. Kuperhatikan sekilas, kamu telah banyak berkembang. Lebih cekatan, aktif, kritis, terampil, dan supel. Maaf jika agak berlebihan, karena aku hanya memperhatikanmu dari kejauhan.

Ah, fokus lagi dengan gagasan tulisan. Intinya aku bersyukur dengan semua pencapaian ini. Karena itu berarti, kita semua sudah bertambah dewasa.

Kesimpulannya tentang cinta. Ia tidak pernah habis untuk diartikan, tidak dibatasi dengan subjek dan perasaan, tapi ia bisa larut dalam setiap detik kehidupan. 

Komentar

Most Read Post

MY LIFE PLAN