Pantaskah disebut Rumah Kedua?

Postingan kali ini adalah salah satu hasil tulisan gue sewaktu masih jadi siswa SMA. Tepatnya untuk memenuhi tugas pelajaran Bahasa Indonesia, materinya "Mengonversi Teks Iklan".  Tercatat esai ini ditulis tanggal 15 November 2017, menjelang tengah malam karna pake mode SKS (Sistem Kebut Semalam), gue inget banget wkwk.
Adapun iklan yang dikonversi adalah iklan dari Kemendikbud yang gue ambil dari web http://sekolah.jardiknas.kemdikbud.go.id dan diubah menjadi bentuk esai. Selamat menikmati 😁

PANTASKAH DISEBUT RUMAH KEDUA?
Pendidikan, kesehatan, lalu ekonomi. Begitulah rantai prioritas yang biasa diusung dalam pembangunan sumber daya manusia. Pendidikan selalu dinomor wahidkan. Tidak heran apabila 20% APBN kita diperuntukkan khusus untuk pendidikan. Pendidikan sendiri tidak bisa lepas dari para agennya, yaitu sekolah dan keluarga. Khusus sekolah, lembaga multijenjang ini sangat bertanggung jawab dalam menentukan sukses atau tidaknya pendidikan.
Sekolah adalah rumah kedua. Slogan yang sepintas membuat siapa pun yang membacanya mengangguk seolah setuju dengannya. Belum tentu. Tidak semua orang bisa mengakui begitu saja sekolah sebagai rumah keduanya. Makna rumah yang hakikatnya sebagai tempat berlindung dan mencari kenyamanan, disandingkan dengan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang notabene tidak semua orang nyaman berlama-lama di sana.
Sepertiga hari kita habiskan di sekolah, bahkan ada yang lebih. Bagian kedua dari tiganya lagi, kita gunakan untuk tidur. Rata-rata hanya tersisa waktu 8 jam bagi seorang siswa untuk melakukan berbagai aktivitas di luar belajar dan istirahat. Maka tidak heran bila banyak siswa yang harus jatuh sakit karena terlalu militan belajar. Banyak siswa yang tak dikenal wajahnya di masyarakat, karena jangankan untuk berbaur, keluar rumah pun menjadi hal yang langka. Sebagian siswa lagi harus bersiap kehilangan sisi sosialnya, karena ditekan dengan nilai dan tugas individu, walau pun ada tugas berkedok kelompok, tapi percayalah sejatinya itu pun untuk pemenuhan kebutuhan nilai perseorangan.
Siapa yang salah? Tidak pantas bagi seorang siswa untuk menuduh pihak mana yang bersalah. Lebih penting dari soal menyalahkan, yaitu mengoreksi. Pemerintah khususnya Kemendikbud sebagai stakeholder pendidikan sebaiknya segera menengahi persoalan ini dengan solusi. Penyederhanaan sistem dan kurikulum sekolah dirasa perlu untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan karakter mudanya.
Berikan kebebasan kepada siswa untuk memilih. Memilih masa muda yang penuh warna, bukan sistem satu warna. Memilih minat, bukan dipaksa untuk berminat. Memilih bakat, bukan dipaksa untuk berbakat. Memilih merancang masa depannya sendiri, bukan ditetapkan seperti standar pabrikan. Hingga akhirnya mereka dapat memilih sendiri, di mana rumah kedua mereka.

Komentar

Most Read Post

MY LIFE PLAN